Pages

Senin, 18 Maret 2013

L.O.V.E | Part 7: Two Hearts to One Love

26 December 1996 / 11 A.M waktu London



Eshter berlari secepat mungkin, menuju The Royal London Hospital. Baru saja dia mendapat telepon bahwa ayahnya baru saja dibawa ke rumah sakit karena mendadak terkena serangan jantung. Eshter terus berlari, tak mempedulikan orang-orang yang tanpa sengaja di tabrak. Dia tidak mau kehilangan satu-satunya anggota keluarganya tercinta kembali pergi. Sudah cukup baginya untuk kehilangan sang Ibu. Eshter tidak rela kalau ayahnya sudah harus ikut menyusul sang Istri sekarang. Dia masih butuh ayahnya. Dia masih butuh pelukan hangat sang ayah.

BRUKK!

"A-Aduh..."

"M-Maaf! Aku sedang buru-buru."

Tanpa sengaja Eshter menabrak seorang pasien lain di rumah sakit itu, seorang perempuan mungil, yang nampak seumuran dengannya. Ketika Eshter sampai di kamar ayahnya dirawat, gadis itu bisa melihat ketika sang ayah terbaring lemah, namun masih tersenyum ke arah sang anak tunggal tercinta. Eshter melangkah pelan mendekati sang ayah yang masih dijaga oleh salah satu Anak buah paling setia dari keluarga Eshter. 

"Aku tidak mau kehilanganmu, Dad."

"Tidak apa, Eshter. Ayah akan segera sehat. Ayah berjanji."

Eshter mendapat perintah bahwa dia harus keluar dari kamar oleh sang dokter untuk pemeriksaan ayahnya. Hanya sang anak buahlah yang menemani ayahnya di dalam kamar. Eshter menutup pintu kamar itu menutup, dan melangkah ke arah sebuah kursi panjang di lorong rumah sakit. Hanya ada seorang perempuan yang duduk di sana. Dan coba tebak! Itu perempuan yang tadi Esher tabrak! Aduh!

"Hng, maaf. Tadi aku menabrakmu. Aku tak sengaja.."

"Oh tidak apa kok."

Gadis berambut merah itu langsung duduk tepat di samping sang perempuan mungil yang duduk diam menatap lantai di bawahnya. Apa yang sedang dipikirkannya?

"Aku Eshter. Salam kenal. Siapa namamu?"

"I-Ivy."

Nama yang bagus, pikirnya. Perempuan itu sempat tersenyum ketika menyebutkan namanya. Namun kemudian kembali menunduk menatap lantai. Sebenarnya, perempuan itu kenapa? Karena rasa penasaran Eshter yang begitu tinggi, akhirnya dia memutuskan untuk segera bertanya. Bisa saja kan kalau ternyata Ivy memikirkan cara untuk bunuh diri karena ditinggal pacarnya? Itu bahaya!

"Maaf, Ivy. Kau kenapa lesu begitu? Sedang ada masalah?"

"Hm? Tidak kok, tidak."

Lagi-lagi gadis itu tersenyum pada Eshter, senyum yang sangat manis. Pria mana yang tidak suka dengan senyumnya itu.

"Ngomong-ngomong, kau dirawat karena penyakit apa, Ivy?"

"Hanya penyakit biasa."

"Oh.."

Tak berapa lama kemudian, seorang dokter yang usianya sudah cukup tua dan Senior memanggil gadis itu. Di sebelah sang dokter berdiri seorang perempuan paruh baya dengan usia kira-kira 30-an tahun. Ivy melangkah meninggalkan Eshter tanpa sepatah katapun. Ivy masuk ke dalam ruangan dokter itu dengan wajah menunduk. Pasrah.

Cukup lama Eshter duduk sendirian di tempatnya, dan baru saja Ivy beserta perempuan paruh baya itu keluar dari ruangan sang dokter. Dan kali ini, sang dokterlah yang keluar. Eshter penasaran, dengan apa yang terjadi pada Ivy. Meskipun baru kenal, Eshter sudah sangat ingin tahu.

"Dokter. Gadis bernama Ivy itu.... kenapa?"

"Maaf, anda siapa?"

"Temannya. Teman lamanya."

"Oh.. Dia terkena kanker hati. Dan besok sudah harus dioperasi."

Eshter refleks menutup mulut dengan tangan kanannya, seakan-akan tak percaya dengan apa yang dia dengar. Gadis itu, Ivy, menderita penyakit parah seperti itu?

"Apa Ivy masih bisa disembuhkan?"

"Kemungkinannya kecil, sangat kecil."

Gadis ini tidak tahu, apa yang harus dia lakukan. Apakah dia harus menangis dan mengatakan pada Ivy bahwa dia sangat senang bisa mengenal Ivy walau sebentar? Oh Tuhan, Eshter tidak mau hal yang sama terjadi pada ayahnya tercinta. Dia rela melakukan apapun untuk ayahnya, walaupun itu harus mengorbankan nyawanya sendiri. Tapi Ivy, bagaimana?

Eshter terus berpikir tentang Ivy, tanpa tahu bahwa Ivy merupakan Pulau indah yang dijadikan Sean sebagai tempat pelabuhan hatinya...


To be Continued...

H.R.Y

L.O.V.E | Part 6: Like a Dream

26 December 1996 / 7 A.M waktu London

Pertemuan semalam nampaknya menjadi awal dari sebuah kisah lama yang diputar ulang namun dengan jalan cerita yang baru untuk Sean. Sebelum Eshter masuk ke dalam rumahnya, gadis itu membuat janji dengan Sean untuk berjalan-jalan ke tempat yang dulu sering mereka jadikan tempat pertemuan, atau lebih tepatnya tempat mereka berbagi, dulu. Sean masih selalu ingat dimana tempat itu, dan dia sudah siap pagi ini untuk pergi menemui Eshter di tempat itu. Begitu semangatnya sampai dia tidak lagi mempedulikan kotak hadiah yang dipersiapkannya untuk Ivy, di atas meja.



Jaket hitam ditambah celana jins dengan warna serupa dengan leher dibaluti syal warna putih, Sean meninggalkan rumahnya, melangkah menuju tempat penuh kenangan antara dirinya dan Eshter. Di tempat itu mereka menghabiskan banyak waktu. Di tempat itu mereka sudah banyak berbagi kisah lewat hati mereka masing-masing. Dan di tempat itu pulalah, awal dari sebuah kisah romantis sepasang anak muda dimulai dan juga diakhiri di tempat yang sama. 

"Hai Sean!"

Itu dia, gadis berambut meraj bernama Eshter, rupanya sudah menunggu dengan posisi tubuhnya yang menyandar pada sebatang pohon besar yang ada di dekatnya.

"Sudah menunggu lama?"

"Belum lama kok."

"Jadi, jalan?"

Sebuah anggukan sudah cukup untuk menjadi sebuah jawaban. Mereka melangkah menyusuri jalanan hutan bersalju yang sepi. Jalanan lurus itu mereka lalui berdua, jalan berdampingan. Sama persis dengan apa yang terjadi ketika mereka masih muda. Untuk beberapa saat suasana hening menjadi penghias langkah kaki mereka. Cahaya matahari pagi sedikit demi sedikit mengintip dari celah-celah diantara pepohonan menjulang yang tertutupi salju.

"So, Sean.Apa kau punya cerita menarik?"

"E-Eh? Hng.."

"Sudah, cerita saja. Dulu kau tidak pernah malu-malu kan. Hahaha..."

Pukulan ringan mendarat di punggung tegap Sean. Yah, saat-saat seperti inilah yang selalu dirindukan Sean dari masa lalunya. Dia sedikit bimbang, cerita apa yang harus dia bagi dengan Eshter? Apa merupakan hal yang baik kalau dia menceritakan soal pertemuannya dengan Ivy beberapa hari yang lalu? Iya, sejak pertama bertemu gadis itu, seakan-akan Sean menemukan sosok pengganti Eshter.

"Er.. Baiklah.."

Sepanjang perjalanan, Sean menceritakan soal bagaimana kehidupannya setelah kehilangan Eshter. Sampai dengan alasan mengapa dia selalu menghabiskan waktu untuk duduk di bangku panjang Hyde Park setiap malam untuk menunggu Ivy. Namun pemuda ini tidak menyebutkan nama Ivy dalam percakapannya kali ini. Sean tidak tahu apakah yang dilakukannya ini benar atau tidak. Tapi dia hanya berharap kalau Eshter setidaknya bisa mengerti apa yang dia rasakan, sebagai teman lama. Tidak lebih. Teman lama yang sudah sangat akrab.

"Nah! Lalu, kau tidak mau mencarinya Sean?"

"A-Aku belum coba."

"Aku yakin dia juga pasti sebenarnya juga menunggumu, Sean!"

Eshter boleh saja berkata seperti itu dengan lantang di mulutnya. Tapi tidak pada hatinya. Perasaannya seakan-akan jantung hatinya tersayat benda tajam hanya untuk berkata seperti itu. Air matanya tertahan, tentu saja dia tidak mau Sean melihat air mata dari seorang gadis yang sebenarnya masih sangat mengharapkan cinta dari Sean.

"Semoga saja kau benar. Lalu, bagaimana denganmu? Sudah menemukan sosok Pria Italia?"

"Ah, sudah. Mereka semua tampan."

Namun tidak ada yang mampu meluluhkan hatinya, seperti saat bersama Sean. Itu kata hatinya.

Mereka menghabiskan sisa waktu pagi hari dengan saling melempar bola salju. Dari dulu, dalam hal ini Eshter selalu keluar jadi pemenang. Dan juga, Eshter merasa bahwa ini seperti mimpi, mimpi yang akhirnya bisa jadi sebuah kenyataan indah. Andai saja Sean tahu apa yang sedang dia rasakan. Andai saja Sean tahu kalau Eshter masih sangat mengharapkan rasa itu kembali. Tapi sepertinya, Sean sudah menutup pintu hati untuk Eshter. Pemuda Sylvester itu sudah melabuhkan hatinya, ke sebuah Pulau yang indah. Pulau yang menyimpan begitu banyak mimpi dan masa depan yang cerah.

But, she always love him...



To be continued...

H.R.Y

Senin, 07 Januari 2013

L.O.V.E | Part 5: Complicated


Sejenak Sean tersentak, kaget mendengar sebuah suara, seorang perempuan. Ini, di malam Natal yang penuh pengharapan ini, apakah akan terjadi? Keinginan Sean untuk bertemu orang yang telah berhasil menaklukkan hatinya, apakah akan terjadi? Sean kemudian menolehkan kepalanya, ke arah sumber suara. Tatapan matanya kini bisa melihat dengan jelas, sosok seorang perempuan seusianya, bersurai merah, berkulit putih, dengan pakaian musim dingin yang serba hitam.

Surai merah? Ya, memang bersurai merah.

"E-Eshter?"

Untuk beberapa detik lamanya seluruh tubuh Sean tidak mampu digerakkan secara bebas. Tubuhnya kaku, pandangan matanya masih lurus menatap perempuan yang pernah mengisi hatinya walau tidak terlalu lama. Eshter, nama gadis itu. Bukankah dia harusnya tinggal di Italia? Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang dia lakukan dengan kembali ke London?

"Boleh aku duduk di sini, Sean?"

Rasanya sudah lama Sean tidak melihat senyum manis gadis itu. Ketika gadis itu tersenyum, nampak sepasang lubang kecil di bagian pipinya. Deretan gigi-gigi putih menambah kecantikan seorang Eshter. Inikah bidadari yang pernah mengisi hati Sean? Terlalu bodohkah Sean merelakan Eshter untuk lebih memilih karirnya ketimbang cintanya? Entahlah.

"T-Tentu saja.."

Sean menggeser posisi duduknya, masih dengan sebuah kado di pangkuannya. Kini Eshter telah duduk di sampingnya. Mereka bertemu lagi, dalam keadaan yang berbeda. Mereka bukan lagi sepasang muda-mudi yang baru merasakan cinta. Mereka pernah menyatukan cinta mereka, meski pada akhirnya mereka harus menyerah pada keadaan. Dan sekarang, apakah waktu yang tepat untuk mempertemukan cinta lama yang sudah terpisah nyaris 5 tahun lamanya? Ketika salah satu dari mereka telah menemukan pelabuhan hati barunya?

"Ngomong-ngomong, kau sedang menunggu seseorang?"

Sean mengangguk, kemudian tersenyum pada Eshter. Ya, dia sedang menunggu perempuan bernama Ivy yang ditemuinya beberapa hari yang lalu di tempat ini. Sean tidak bisa menceritakan soal itu di sini. Menurutnya, itu bukanlah hal yang bijaksana.

"Kado itu untuk siapa? Pacarmu?"

"E-Eh?"

Eshter memang cerewet, dan itulah yang menjadi salah satu daya tariknya bagi Sean. Sean tampak salah tingkah dengan memandangi kado di pangkuannya, kemudian kembali menatap Eshter yang menantikan jawabannya. Pacar? Bagaimana mungkin Sean bisa mengatakan bahwa dia sedang menunggu pacar barunya, sementara dia saja baru mengenal orang yang ditunggunya sebentar.

"T-Tidak... Eh Eshter, kenapa kau di sini?"

"Hm?"

"Maksudku, tidak merayakan Natal di Italia?"

"Tidak, Dad mengajakku merayakan Natal di London. Jadi yah, aku ikut. Kebetulan sekali kita bertemu di sini ya, Sean."

Untuk kesekian kalinya Sean tersenyum. Pertemuan seperti inilah yang kadang kala sering terjadi di begitu banyak jenis novel cinta. Tidak beda jauh dengan pertemuan antara Sean dan Ivy sebelumnya. Namun pertemuannya dengan Eshter, seperti sebuah reunian kecil, antara hati mereka berdua. Apa yang bisa mereka bicarakan? Masa lalu? Tentang kisah-kisah lama yang telah mereka ukir di hati masing-masing lawan jenis? Apakah ini kado Natal terbaik untuk Sean?

2 jam lamanya mereka habiskan untuk membicarakan soal kenangan-kenangan indah diantara mereka. Sean memutuskan, dia akan segera kembali ke rumah.

"Perlu ku antar pulang?"

"Boleh, kalau kau tidak keberatan. Biar kau tahu rumahku yang sekarang. Haha.."

Perasaan tak menentu menyelimuti Sean. Antara senang dan sedih, menjadi satu malam itu. Dia tidak bisa mengungkapkannya.

***


25 December 1996 / 9 P.M waktu London

Gadis mungil itu melangkah kedinginan, menembus salju yang terus turun. Dia tidak mempedulikan tubuhnya yang lemas tak berdaya setelah 3 hari terbaring di Rumah Sakit. Dia merasa tidak kuat untuk terus menghabiskan waktu dengan mengkonsumsi obat-obat dari Dokter yang merawatnya. Dia membutuhkan obat lain, yang bisa menenangkan hatinya. Dia ingin bertemu sosok laki-laki yang membuatnya tersenyum malam itu. Tak terasa sakit sedang menyerangnya ketika bersama laki-laki itu. Begitu nyaman, dan hangat di dekatnya.

Ivy duduk di bangku panjang yang tadinya telah dihuni sepasang muda-mudi seumurannya. Gadis mungil itu memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket tebal yang dia kenakan, melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri. Ivy ingin bertemu Sean, Ivy ingin berbincang-bincang lagi dengan Sean. Dia tidak ingin pisah dari Sean, biarpun dia baru mengenalnya beberapa saat. 

Tak peduli seberapa parah sakit yang dideritanya saat ini, tak peduli seberapa dinginnya cuaca malam ini, Ivy tetap duduk menanti. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Apa benar perkataan Ibunya? Apakah dia sedang jatuh cinta? Jatuh cinta, hal yang tak pernah dia tahu, sejak dulu. Penyakit parah itu telah membuatnya harus banyak terbaring di atas tempat tidur, dan tak pernah menemukan arti cinta yang sebenarnya.

"Nak, malam sudah larut. Pulanglah."

"Ah, tidak apa Pak. Hehe.."

"Apa yang sedang kau tunggu? Pacarmu?"

"Tidak, hanya seorang teman saja kok."

"Oh, haha.. Baiklah, selalu waspada, Nak."

Bahkan seorang Polisi penjaga taman pun tak akan mampu menggerakkan niat Ivy untuk terus menunggu Sean. Di sini mereka pertama bertemu, dan mungkin saja mereka bisa bertemu di sini kan? Apa mungkin Sean sudah melupakan pertemuannya dengan Ivy? Tidak apa, Ivy akan menunggu Sean, entah itu berapa hari, berapa bulan, atau berapa tahun. Atau sampai seberapa lama dia bisa bertahan dari penyakitnya? Entahlah, Tuhan yang tahu.

....


To be continued....

H.R.Y

Rabu, 02 Januari 2013

L.O.V.E | Part 4: Sean Wishes



25 December 1996 / 6 A.M waktu London

Pagi Natal, dan Sean masih berada di atas tempat tidurnya yang nyaman. Hingga akhirnya sang Ibu membuka jendela kamarnya, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya, menyilaukan mata sang penulis muda. Hal ini jelas harus memaksa Sean beranjak, dan segera membuka kado yang sudah ada di ruang tamu.

Ya...

"Thanks, Mom!"

Sean baru saja membuka kadonya. Berukuran sedang, tidak terlalu besar juga. Tepat, hadiah yang diberikan Ibunya adalah sebuah hiasan seperti bola kristal kecil, yang di dalamnya terdapat sebuah kursi panjang, dan sebuah pohon yang nyaris tertutupi salju yang turun. Dipandanginya terus hadiah dari Ibunya tersebut. Dan tentu saja dia ingat, sebuah kado yang dia persiapkan untuk Ivy, yang mungkin saja bisa dia temui di Hyde Park, malam ini. Semoga saja malam ini, dia akan bertemu gadis itu. Semoga!

***


Sebuah kotak kado kecil dibawa oleh Sean yang menyusuri jalanan kota London, menuju Hyde Park yang kini semakin ramai. Salju terus saja turun, nyaris menutupi seluruh bagian rambut Sean Sylvester. Pandangan matanya sesekali menyisir seluruh bagian taman yang ramai. Tujuannya tentu saja bangku panjang yang sudah menjadi tempat penuh kenangan untuknya. Di malam Natal ini, harapan Sean hanya ingin bertemu dengan Ivy dan berbincang lebih lama lagi dari yang kemarin.

"Fuh.."

Sean sudah duduk di kursi panjang itu, dan menyandarkan tubuhnya di bagian belakang bangku. Kedua tangannya masih memegangi kado yang dia bawa dari rumah. Apa yang dia lakukan ini sia-sia? Atau semua akan terjawab dengan kedatangan Ivy malam ini? Dia rela melakukan semua ini, karena dia merasa bahwa Ivy adalah suatu anugerah untuknya, yang mampu membuatnya hidupnya jadi lebih berwarna. Detak jantungnya semakin cepat seiring berjalannya waktu. Ataukah ini tanda-tanda kedatangan seorang Ivy? Entahlah, dia hanya bisa berharap.

"Sean....?"

Nah, siapa?




To be Continued...

H.R.Y

L.O.V.E | Part 3: Lonely

He's lonely

23 December 1996 / 9 P.M waktu London

Malam semakin dingin, dan salju masih terus turun tanpa henti. Sudah dua jam berlalu sejak kedatangan Sean pada jam 7 tadi, demi menemui sesuatu yang dia inginkan malam ini. Sean rela meletakkan penanya untuk sesaat, berhenti menulis, hanya untuk hal ini. Dia berharap malam ini dia bisa bertemu lagi dengan Ivy, di tempat yang sama. Sean juga duduk di bangku panjang tempatnya dan Ivy duduk ketika itu. Hanya saja, untuk malam ini dia duduk sendirian. Menikmati salju yang turun, kesepian.

Sean melirik jam tangan miliknya sekali. Pemuda ini beranjak dari tempatnya, berdiri diam. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, ingin lebih memastikan apakah gadis yang ingin ditemuinya itu akan datang atau tidak. Dan akhirnya, Sean memutuskan untuk pulang ke rumah. tentu saja dengan perasaan kecewa, kecewa berat.

He's failed, tonight.

***

24 December 1996 / 11 A.M waktu London

Tidak ada yang Sean lakukan, sejak pagi sampai menjelang siang ini. Dia hanya diam, merenungkan apa yang akan terjadi padanya. Hari ini, satu hari menjelang Natal. Pikirannya masih terus melayang memikirkan Ivy, terus. Sean berbaring di atas rerumputan di halaman belakang rumahnya, memandangi langit yang terus menerus balik memandanginya tanpa pernah bosan. Seandainya saja Sean bisa berbagi cerita dengan sang langit..


Bahkan hingga acara makan bersama keluarga besarnya di malam harinya pun dilewatkan Sean begitu saja. Dia memilih untuk menutup pintu kamarnya, membanting tubuhnya di atas kasurnya yang empuk, dan menatap langit-langit kamarnya. Berharap pada hari Natal besok, Ivy akan datang ke rumahnya, walau hanya sekedar mengucapkan selamat Natal saja. Yah, kesalahan Sean juga yang tak sempat memberikan alamat rumahnya. Terlalu berharap itu, kadang dilarang kan?

Berharap juga bisa membuat hati sakit...



To be Continued....

H.R.Y

L.O.V.E | Part 2: Remember Her

22 December 1996 / 8 A.M waktu London

Pena itu terus bergerak, mengikuti alunan tangan sang pemakai. Perlahan tapi pasti kertas yang tadinya putih bersih, kini sudah mulai ternoda dengan beberapa buah kata yang membentuk sebuah kalimat panjang. Penggerak pena tersebut tak lain adalah Sean. Sejak pertemuan semalam, bangun dari tidur dia langsung beranjak dari tempat tidurnya, mandi, dan langsung duduk nyaman di kursi menulisnya. Tiba-tiba saja seperti ada sebuah suntikan semangat di dalam dirinya saat ini. Ivy, nama gadis itu. Sean seolah-olah tersihir dengan senyum serta kecantikan gadis mungil yang pernah duduk di sampingnya. Ingin rasanya dia memutar waktu itu, sekali lagi.

Cukup lama pemuda ini duduk dalam diam, akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan nafas ke halaman depan rumahnya.


Sejuk, udara di tempat tinggalnya memang sangat luar biasa dan membuatnya nyaman untuk terus menulis. Halaman depan yang luas, dengan pembatas pagar kayu kokoh setinggi dada orang dewasa. Di bagian belakang rumah terdapat kolam yang di tengahnya terdapat sebuah jembatan. Isinya tentu saja beberapa jenis ikan, dan jangan pernah mengharapkan keluarga Sean akan memelihara seekor buaya atau seekor Hiu di dalamnya. Ah ya, di bagian samping rumahnya terdapat sebuah bangunan pribadi seperti sebuah Kastil kecil. Itu biasa digunakan untuk bermain atau berkumpul.

Sean duduk di atas pagar kayu rumahnya, membiarkan rambutnya tertiup angin sepoi. Tatapan matanya terus memandangi rerumputan hijau yang terbentang di depannya. Awan biru cerah menjadi penghias lainnya pagi itu. Pikirannya masih terpaku pada Ivy. Gadis yang membuatnya kembali bisa merasakan saat-saat dimana detak jantungnya berdetak cepat. Ya, ini bukan yang pertama untuk Sean. Dan kembali pikirannya melayang ke tempat lain. Ke orang lain, kali ini.

Eshter

Eshter, itu namanya. Gadis bersurai merah itu menjadi cinta pertama Sean sewaktu mereka berusia enam belas tahun. Mereka sempat menjalin suatu hubungan serius, yang mana akhirnya harus berakhir karena perbedaan prinsip mereka sendiri. Ya, mereka pisah sekolah setelah lulus. Eshter memutuskan untuk ikut ayahnya ke Italia, dan bertekad menggapai cita-citanya menjadi seorang Desainer.

"Hm, Eshter. Apa kabarmu....?"

Seperti itulah Sean. Dia hanya bisa bertanya secara jelas ketika dia jauh dari orang yang disukainya. Sedikit mengingat masa lalu bukanlah jadi suatu masalah dalam kehidupan. Setidaknya Sean masih bisa menjadikan Eshter salah satu kenangan indahnya  di masa lalu. Dan kini, sudah saatnya dia membuka lembaran baru, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin bertambah usianya. Dia sudah memutuskan, semalam. Tanpa pikir panjang, bahwa dia bisa melakukanya. Ivy telah mengubah segalanya hanya dalam satu malam. Hanya dengan obrolan singkat mereka.

Inikah yang namanya merindu lagi?



To be continued....

H.R.Y

Rabu, 26 Desember 2012

L.O.V.E | Part 1: Fall in Love

Sean Sylvester


"Yak, selesai."

Sean menutup buku catatan miliknya, buku yang menyimpan begitu banyak cerita yang kelak akan dibagikan ke muka umum. Sean Sylvester merupakan seorang penulis muda berusia 20 tahun asal London, yang telah menerbitkan tiga buah novel bergenre percintaan. Satu yang menjadi ciri khas novel buatan Sean adalah, cerita apapun yang dia buat, selalu berakhir dengan kisah tragis. Tidak ada satupun kisah yang berakhir dengan akhir yang bahagia, entah pada akhirnya mereka menikah atau apa. Sean tidak pernah berhasil menulis itu. Dia seperti tidak sanggup melakukannya.

***
21 December, 1996 / 7 P.M waktu London

Salju terus turun tanpa henti. Orang-orang berlalu lalang di jalanan kota London yang cukup ramai. Big Ben (Jam besar yang terkenal di London) masih menunjukkan pukul 7 malam. Diantara banyaknya orang-orang yang berlalu lalang, tampak seorang pemuda dengan mengenakan pakaian lapis serba hitam, ditambah syal berwarna hijau. Berjalan sendirian, sembari memandangi Big Ben dari bawah. 

Sean telah tiba di Hyde Park, sebuah taman di tengah kota yang sedang ramai dengan berbagai kegiatan ice skating. Dia duduk di salah satu kursi panjang kosong yang tersedia di sana. Rambutnya dibiarkan tertimpa butir-butir salju yang turun, tatapan matanya mengawasi semua orang yang ada di tempat ini. Beberapa pasangan seusianya tampak sedang bersenang-senang, bermain. Dan tak jauh dari sana, pasangan yang usianya jauh lebih tua juga sedang duduk di bangku taman yang lain. Mereka semua tampak berpasangan, kecuali Sean. 

Ya, kecuali dia.

Pemuda Sylvester ini kemudian mengeluarkan sebuah catatan kecil miliknya, ditambah sebuah pena. Dia menuliskan beberapa kalimat di dalam buku catatannya. Yah, setidaknya dia bisa kembali membuat cerita lagi setelah ini. Sejenak dia menghentikan kegiatannya, dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Pandangannya kali ini ke atas, menghadap bintang-bintang yang bersinar. Natal memang belum tiba, tapi entah kenapa dia malah sudah merasakannya setelah melihat orang-orang di sini.

"Maaf..."

Ada suara, seorang perempuan.

"Boleh aku duduk di sini? Sebentar?"

Ivy

Seketika Sean menoleh, memandang ke arah sumber suara. Kedua manik biru langitnya menatap seorang perempuan, berambut panjang. Memakai jaket hitam. Bertubuh agak mungil, namun bisa dipastikan kalau usianya tidak berbeda jauh dengan Sean. Dia yakin itu.

"T-Tentu saja. Silahkan."

"Thanks."

Gadis itu kemudian duduk tepat di samping Sean. Sylvester muda ini terus memandangi seorang Hawa yang kini ada di sampingnya, sangat lekat. Gadis itu kini tengah menatap orang-orang di tengah taman yang tengah bermain. Melihat wajah gadis itu, entah kenapa membuat Sean tersenyum sendiri. Ini sama seperti cerita yang pernah dia baca di salah satu novel terkenal. Pertemuan yang tak disengaja dan biasanya akan berakhir dengan bahagia. Oh God, why?

"A-Aku Sean, Sean Sylvester..."

Sebuah uluran tangan dari pemuda ini.

"Namamu?"

"Oh, aku Ivy. Ivy Moreau."

Sean bisa merasakan dinginnya tangan gadis itu, Ivy. Setelah itu, Sean melepaskan genggaman tangannya. Yah setidaknya ini yang bisa dia lakukan dalam sebuah pertemuan yang sangat tidak disengaja. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada mereka berdua selanjutnya kan?

"Kau sendirian saja?"

"Ya.."

Bodohnya Sean bertanya seperti itu. Bukankah seharusnya dia sudah bisa melihat keadaannya sendiri?

"Kenapa kau tidak bermain juga?"

"Ah tidak, aku tidak bisa."

Gadis itu nyengir ke arah Sean. Obrolan mereka terus berlangsung untuk beberapa saat. Obrolan soal sepasang kekasih berusia lanjut yang sedang duduk berdua di bangku taman lainnya, betapa romantisnya ketika sang kakek memberikan bunga mawar merah pada sang pasangan. Sean sedikit tertawa melihat ekspresi sang kakek yang terkejut karena tiba-tiba pasangannya telah mengecup pipi kanannya. Sementara Ivy, gadis itu tidak kalah senangnya dibanding Sean.

Yah, dan dimana ada pertemua, pasti ada perpisahan kan?

"Sean, kurasa aku harus pulang. Sampai juga lagi!"

"Ah ya, sampai juga, Ivy!"

Gadis itu pergi, menjauh. Rambut panjangnya terurai ketika dia berlari menembus salju yang terus turun. Sean terus menatapnya, sampai Ivy menghilang dari pandangannya. Tak pernah sebelumnya Sean merasakan perasaan yang seperti ini. Menyenangkan, sangat menyenangkan. Seorang perempuan yang baru dikenalnya, menjadi orang yang spesial di hatinya saat itu. Perasaan macam apa ini? Bisakah dia menuliskannya di dalam buku catatannya dalam bentuk kata-kata seperti ketika dia menulis sebuah novel? Perasaan aneh, yang mengusik hatinya.

This is called love?



To be Continued....

H.R.Y