Pages

Rabu, 02 Januari 2013

L.O.V.E | Part 2: Remember Her

22 December 1996 / 8 A.M waktu London

Pena itu terus bergerak, mengikuti alunan tangan sang pemakai. Perlahan tapi pasti kertas yang tadinya putih bersih, kini sudah mulai ternoda dengan beberapa buah kata yang membentuk sebuah kalimat panjang. Penggerak pena tersebut tak lain adalah Sean. Sejak pertemuan semalam, bangun dari tidur dia langsung beranjak dari tempat tidurnya, mandi, dan langsung duduk nyaman di kursi menulisnya. Tiba-tiba saja seperti ada sebuah suntikan semangat di dalam dirinya saat ini. Ivy, nama gadis itu. Sean seolah-olah tersihir dengan senyum serta kecantikan gadis mungil yang pernah duduk di sampingnya. Ingin rasanya dia memutar waktu itu, sekali lagi.

Cukup lama pemuda ini duduk dalam diam, akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan nafas ke halaman depan rumahnya.


Sejuk, udara di tempat tinggalnya memang sangat luar biasa dan membuatnya nyaman untuk terus menulis. Halaman depan yang luas, dengan pembatas pagar kayu kokoh setinggi dada orang dewasa. Di bagian belakang rumah terdapat kolam yang di tengahnya terdapat sebuah jembatan. Isinya tentu saja beberapa jenis ikan, dan jangan pernah mengharapkan keluarga Sean akan memelihara seekor buaya atau seekor Hiu di dalamnya. Ah ya, di bagian samping rumahnya terdapat sebuah bangunan pribadi seperti sebuah Kastil kecil. Itu biasa digunakan untuk bermain atau berkumpul.

Sean duduk di atas pagar kayu rumahnya, membiarkan rambutnya tertiup angin sepoi. Tatapan matanya terus memandangi rerumputan hijau yang terbentang di depannya. Awan biru cerah menjadi penghias lainnya pagi itu. Pikirannya masih terpaku pada Ivy. Gadis yang membuatnya kembali bisa merasakan saat-saat dimana detak jantungnya berdetak cepat. Ya, ini bukan yang pertama untuk Sean. Dan kembali pikirannya melayang ke tempat lain. Ke orang lain, kali ini.

Eshter

Eshter, itu namanya. Gadis bersurai merah itu menjadi cinta pertama Sean sewaktu mereka berusia enam belas tahun. Mereka sempat menjalin suatu hubungan serius, yang mana akhirnya harus berakhir karena perbedaan prinsip mereka sendiri. Ya, mereka pisah sekolah setelah lulus. Eshter memutuskan untuk ikut ayahnya ke Italia, dan bertekad menggapai cita-citanya menjadi seorang Desainer.

"Hm, Eshter. Apa kabarmu....?"

Seperti itulah Sean. Dia hanya bisa bertanya secara jelas ketika dia jauh dari orang yang disukainya. Sedikit mengingat masa lalu bukanlah jadi suatu masalah dalam kehidupan. Setidaknya Sean masih bisa menjadikan Eshter salah satu kenangan indahnya  di masa lalu. Dan kini, sudah saatnya dia membuka lembaran baru, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin bertambah usianya. Dia sudah memutuskan, semalam. Tanpa pikir panjang, bahwa dia bisa melakukanya. Ivy telah mengubah segalanya hanya dalam satu malam. Hanya dengan obrolan singkat mereka.

Inikah yang namanya merindu lagi?



To be continued....

H.R.Y

0 komentar:

Posting Komentar