Pages

Rabu, 26 Desember 2012

L.O.V.E | Part 1: Fall in Love

Sean Sylvester


"Yak, selesai."

Sean menutup buku catatan miliknya, buku yang menyimpan begitu banyak cerita yang kelak akan dibagikan ke muka umum. Sean Sylvester merupakan seorang penulis muda berusia 20 tahun asal London, yang telah menerbitkan tiga buah novel bergenre percintaan. Satu yang menjadi ciri khas novel buatan Sean adalah, cerita apapun yang dia buat, selalu berakhir dengan kisah tragis. Tidak ada satupun kisah yang berakhir dengan akhir yang bahagia, entah pada akhirnya mereka menikah atau apa. Sean tidak pernah berhasil menulis itu. Dia seperti tidak sanggup melakukannya.

***
21 December, 1996 / 7 P.M waktu London

Salju terus turun tanpa henti. Orang-orang berlalu lalang di jalanan kota London yang cukup ramai. Big Ben (Jam besar yang terkenal di London) masih menunjukkan pukul 7 malam. Diantara banyaknya orang-orang yang berlalu lalang, tampak seorang pemuda dengan mengenakan pakaian lapis serba hitam, ditambah syal berwarna hijau. Berjalan sendirian, sembari memandangi Big Ben dari bawah. 

Sean telah tiba di Hyde Park, sebuah taman di tengah kota yang sedang ramai dengan berbagai kegiatan ice skating. Dia duduk di salah satu kursi panjang kosong yang tersedia di sana. Rambutnya dibiarkan tertimpa butir-butir salju yang turun, tatapan matanya mengawasi semua orang yang ada di tempat ini. Beberapa pasangan seusianya tampak sedang bersenang-senang, bermain. Dan tak jauh dari sana, pasangan yang usianya jauh lebih tua juga sedang duduk di bangku taman yang lain. Mereka semua tampak berpasangan, kecuali Sean. 

Ya, kecuali dia.

Pemuda Sylvester ini kemudian mengeluarkan sebuah catatan kecil miliknya, ditambah sebuah pena. Dia menuliskan beberapa kalimat di dalam buku catatannya. Yah, setidaknya dia bisa kembali membuat cerita lagi setelah ini. Sejenak dia menghentikan kegiatannya, dan menyandarkan tubuhnya di kursi. Pandangannya kali ini ke atas, menghadap bintang-bintang yang bersinar. Natal memang belum tiba, tapi entah kenapa dia malah sudah merasakannya setelah melihat orang-orang di sini.

"Maaf..."

Ada suara, seorang perempuan.

"Boleh aku duduk di sini? Sebentar?"

Ivy

Seketika Sean menoleh, memandang ke arah sumber suara. Kedua manik biru langitnya menatap seorang perempuan, berambut panjang. Memakai jaket hitam. Bertubuh agak mungil, namun bisa dipastikan kalau usianya tidak berbeda jauh dengan Sean. Dia yakin itu.

"T-Tentu saja. Silahkan."

"Thanks."

Gadis itu kemudian duduk tepat di samping Sean. Sylvester muda ini terus memandangi seorang Hawa yang kini ada di sampingnya, sangat lekat. Gadis itu kini tengah menatap orang-orang di tengah taman yang tengah bermain. Melihat wajah gadis itu, entah kenapa membuat Sean tersenyum sendiri. Ini sama seperti cerita yang pernah dia baca di salah satu novel terkenal. Pertemuan yang tak disengaja dan biasanya akan berakhir dengan bahagia. Oh God, why?

"A-Aku Sean, Sean Sylvester..."

Sebuah uluran tangan dari pemuda ini.

"Namamu?"

"Oh, aku Ivy. Ivy Moreau."

Sean bisa merasakan dinginnya tangan gadis itu, Ivy. Setelah itu, Sean melepaskan genggaman tangannya. Yah setidaknya ini yang bisa dia lakukan dalam sebuah pertemuan yang sangat tidak disengaja. Siapa yang tahu apa yang akan terjadi pada mereka berdua selanjutnya kan?

"Kau sendirian saja?"

"Ya.."

Bodohnya Sean bertanya seperti itu. Bukankah seharusnya dia sudah bisa melihat keadaannya sendiri?

"Kenapa kau tidak bermain juga?"

"Ah tidak, aku tidak bisa."

Gadis itu nyengir ke arah Sean. Obrolan mereka terus berlangsung untuk beberapa saat. Obrolan soal sepasang kekasih berusia lanjut yang sedang duduk berdua di bangku taman lainnya, betapa romantisnya ketika sang kakek memberikan bunga mawar merah pada sang pasangan. Sean sedikit tertawa melihat ekspresi sang kakek yang terkejut karena tiba-tiba pasangannya telah mengecup pipi kanannya. Sementara Ivy, gadis itu tidak kalah senangnya dibanding Sean.

Yah, dan dimana ada pertemua, pasti ada perpisahan kan?

"Sean, kurasa aku harus pulang. Sampai juga lagi!"

"Ah ya, sampai juga, Ivy!"

Gadis itu pergi, menjauh. Rambut panjangnya terurai ketika dia berlari menembus salju yang terus turun. Sean terus menatapnya, sampai Ivy menghilang dari pandangannya. Tak pernah sebelumnya Sean merasakan perasaan yang seperti ini. Menyenangkan, sangat menyenangkan. Seorang perempuan yang baru dikenalnya, menjadi orang yang spesial di hatinya saat itu. Perasaan macam apa ini? Bisakah dia menuliskannya di dalam buku catatannya dalam bentuk kata-kata seperti ketika dia menulis sebuah novel? Perasaan aneh, yang mengusik hatinya.

This is called love?



To be Continued....

H.R.Y

0 komentar:

Posting Komentar