Pages

Jumat, 03 Juni 2011

The HERetic’s Daughter





Sinting dan memuakkan. 
 
Mungkin kedua kata itulah yang layak dipakai untuk menggambarkan kondisi masyarakat Desa Salem, Massachusetts pada tahun 1690an. Sebuah cerita tragis tentang penyihir di dunia nyata lahir di tempat ini pada masa ini, dikenal dengan Pengadilan Penyihir Salem. Berhubung saya tidak familier dengan sejarah Amerika Utara, sebelum membaca novel ini saya bertanya pada Paman Google. Sedikit hasil googling saya memberikan gambaran tentang sejarah kala itu. (Jika ada yang salah tolong dikoreksi ya?)

Pada abad ke-17, umat nasrani di Inggris terpecah menjadi dua, yaitu jemaat Protestan dan Calvinist atau lebih dikenal dengan Puritan. Sementara kaum Protestan mengikuti pilihan cara beribadah menurut Ratu Inggris, kaum Puritan menentangnya karena menganggap tata cara itu terlalu mewah. Kaum Puritan bersikeras hidup menurut ajaran Alkitab apa adanya, nama Puritan berasal dari kata “Pure”. Ketidakcocokan kaum Puritan dan Protestan ini menimbulkan konflik dalam masyarakat dan puncaknya menyebabkan exodus kaum Puritan Inggris ke Eropa dan Amerika. Massachusetts adalah salah satu wilayah tujuan exodus ini. Di Massachussetts, kaum Puritan ini mendirikan desa dan kota baru, mengangkat pemimpin mereka sendiri, dan bebas menjalankan ibadah mereka dan hidup berdasarkan ibadah mereka. Sayangnya, pada masa itu kaum Indian terusik dengan kedatangan mereka dan terkadang mengganggu koloni ini. Ironisnya, meski mengatakan bahwa mereka memilih mempraktekkan ajaran Alkitab secara murni, namun banyak diantara warga ini hidup dalam gossip, takhayul, pertengkaran, dan singkatnya: kemunafikan. Inilah yang kemudian menjadi dasar lahirnya tuduhan Penyihir terhadap beberapa orang yang kurang disukai penduduk setempat ketika cacar air mewabah dan serangan Indian seringkali terjadi. Tahun 1692 kelak diakui sebagai tahun tanpa hukum oleh pemerintah dan keluarga korban tertuduh mendapat pemulihan nama baik.

ilustrasi Pengadilan Penyihir Salem:



Martha Carrier, adalah seorang wanita yang sangat berprinsip. Ketidaksukaannya dengan cara hidup masyarakat yang rutin beribadah namun munafik menjadikannya kurang disukai diantara masyarakat. Martha Carrier juga mempunyai lidah yang tajam apabila ia berselisih dengan tetangganya karena ia adalah orang yang kaku. Suaminya adalah mantan pasukan pengawal Kerajaan di Inggris (dalam buku ini disebut Old England, sementara wilayah baru mereka disebut New England). Ketika anak Martha yang bernama Andrew terserang cacar air, Sarah Carrier diungsikan ke keluarga bibinya, meski ibu dan bibinya tidak akur. Dalam keluarga bibinya, Sarah menemukan kehangatan keluarga dan ketika kembali ke rumah, rasa tidak sukanya pada ibunya mulai tumbuh karena ia menganggap ibunya terlalu kaku untuk bisa memahami dirinya. Seiring waktu, pengertian antara Sarah dan Martha mulai dapat terjalin. Sayangnya, ketika hal baik ini baru mulai terjalin, Martha ‘diciduk’ oleh pengadilan dengan tuduhan melakukan praktek sihir. Setiap orang yang dituduh penyihir akan digantung apabila tidak mengiyakan tuduhan tersebut. Namun Martha adalah orang yang idealis, ia siap menjemput tiang gantungan dan untuk itu ia berpesan kepada Sarah untuk menyatakan bahwa mereka sekeluarga memang penyihir. Ini dilakukan agar Sarah sekeluarga selamat dari hukuman.

Pada kenyataannya, salah satu tokoh utama novel ini, Martha Carrier adalah salah satu dari sekian banyak rakyat sipil tidak bersalah yang dihukum gantung di Salem. Cerita Martha Carrier ini didasari oleh cerita keluarga turun-temurun ibu dari penulis novel ini. Meski ada banyak bagian yang murni fiksi, namun penulis telah melakukan bertahun-tahun penelitian mengenai Pengadilan Penyihir Salem 1 ini untuk novelnya (benar, menyedihkan sekali ada Pengadilan Penyihir Salem 2 pada abad 19). Satukan politik dengan agama, bisa dipastikan akan lahir sebuah tragedi. Pemerintah di kota Salem pun demikian, tidak objektif karena takut dianggap tidak setia pada Alkitab. 

Pada awal-awal hingga pertengahan buku ini, alur ceritanya terasa lambat dan kekurangan sentuhan emosi meski penulis menceritakan segala sesuatunya dengan detail. Namun mulai dari tengah ke belakang, cerita Sarah Carrier mulai menarik untuk disimak. Bahkan saya hampir nangis beberapa kali. Sedikit terasa ‘sentuhan’ Tracy Chevalier di beberapa bagian. Novel ini sendiri ceritanya diberi pengantar dari Sarah Carrier berupa surat untuk cucunya, tertanggal 17 November 1752, jadi seolah-olah kita mendengarkan penuturan Sarah. Namun dalam penulisannya, penulis tidak menggunakan gaya bahasa pada tahun itu dan memilih gaya bahasa yang lebih mudah dipahami pembaca modern. Informasi sejarah latar belakang kisah juga kurang menurut saya dan memaksa saya belajar sendiri. Ini kekuatan sekaligus kelemahannya menurut saya. 

Untuk novel terbitan Matahati sendiri, saya sangat menyukai cover depannya, meski tokoh wanita di cover menurut saya adalah Martha Carrier alih-alih Sarah Carrier si pencerita. api sepertinya petikan kalimat dari novel di cover belakang kurang mengena. Jauh lebih mengena jika dipilih kalimat di halaman 127:

“Kehidupan bukanlah sesuatu yang kau miliki atau yang bisa kau simpan. Kehidupan adalah sesuatu yang sanggup kau lepaskan. boleh jadi tak ada pilihan lain kecuali merelakannya.”

atau dari halaman 161:

“Karena harus ada seseorang yang mengungkapkan kebenaran.”

Novel ini juga minim typo. Sedangkan masalah terjemahan, di bagian awal-awal saya merasa penerjemah kurang mengolah kalimat menjadi kalimat yang lugas, khususnya kalimat yang panjang-panjang. Tapi tidak banyak kok, sudah bagus terjemahannya. Penggemar novel historis seperti saya tidak akan kecewa membaca novel ini. Thanks to Penerbit Matahati yang telah mempercayai saya untuk jadi salah satu first reader novel ini. I do love this book. 

Untuk pembaca yang tertarik mengenai sejarah dan pengetahuan lain lebih lanjut mengenai Pengadilan Penyihir Salem ini bisa membuka link ini:

School of Fear






Penulis mengangkat karakter utamanya bukanlah superhero atau anak-anak baik, melainkan empat anak yang mempunyai fobia. Madelaine menderita fobia akan serangga, Garrison yang adalah seorang atlit menderita fobia pada air dalam jumlah banyak, Lulu menderita fobia pada ruang sempit dan tertutup, sementara Theo menderita fobia akan kematian.
 
Masing-masing karakter dalam buku ini mempunyai keunikannya masing-masing, dan hebatnya penulis membuat peran keempat anak ini sama rata, tidak ada pahlawan atau siapapun yang lebih jagoan. Dikisahkan, keempat tokoh tersebut (kecuali Garrison yang memilih untuk mengirim dirinya sendiri) dikirim oleh orang tua mereka yang mulai terganggu akan fobia mereka ke sebuah sekolah rahasia sepanjang musim panas. Tujuan sekolah ini, yang diberi namaa Sekolah Kengerian adalah untuk menyembuhkan fobia mereka. Namun, setelah bersiap akan kengerian yang harus mereka temui di sekolah ini, mereka berempat menemukan kepala sekolah yang aneh dan kurikulum pendidikan yang tidak jelas. Kepala sekolah yang merangkap guru privat ini ditemani seorang pelayan merangkap juru masak yang hampir buta, lagi. Lalu, bagaimana keempat anak ini menyembuhkan fobia mereka?
 
School of Fear benar-benar mengingatkan saya akan kesenangan membaca Lima Sekawan dan karya2 Roald Dahl, meski dalam versi lebih modern. Karena sekarang saya sudah dikategorikan pembaca dewasa, tentu saja menurut saya ceritanya bisa ditebak dan kurang menegangkan, namun saya tetap menikmati tertawa geli membaca setiap langkah keempat bocah ini. Theo khususnya, adalah “a big HAHAHA”. Untuk desain cover, sebenarnya saya lebih menyukai desain yang ada di website Matahati, namun ilustrasi yang terdapat dalam buku ini bisa dikatakan bagus. Penerjemahannya baik, bahkan ada beberapa catatan kaki di bagian yang diperlukan sedikit penjelasan tambahan. Buku ini bisa jadi bacaan ringan yang berbeda untuk pembaca dewasa, dan pilihan bagus untuk pembaca remaja / anak2. Saya tidak heran bila suatu saat kisah ini dibuat film animasinya.