Pages

Senin, 07 Januari 2013

L.O.V.E | Part 5: Complicated


Sejenak Sean tersentak, kaget mendengar sebuah suara, seorang perempuan. Ini, di malam Natal yang penuh pengharapan ini, apakah akan terjadi? Keinginan Sean untuk bertemu orang yang telah berhasil menaklukkan hatinya, apakah akan terjadi? Sean kemudian menolehkan kepalanya, ke arah sumber suara. Tatapan matanya kini bisa melihat dengan jelas, sosok seorang perempuan seusianya, bersurai merah, berkulit putih, dengan pakaian musim dingin yang serba hitam.

Surai merah? Ya, memang bersurai merah.

"E-Eshter?"

Untuk beberapa detik lamanya seluruh tubuh Sean tidak mampu digerakkan secara bebas. Tubuhnya kaku, pandangan matanya masih lurus menatap perempuan yang pernah mengisi hatinya walau tidak terlalu lama. Eshter, nama gadis itu. Bukankah dia harusnya tinggal di Italia? Kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang dia lakukan dengan kembali ke London?

"Boleh aku duduk di sini, Sean?"

Rasanya sudah lama Sean tidak melihat senyum manis gadis itu. Ketika gadis itu tersenyum, nampak sepasang lubang kecil di bagian pipinya. Deretan gigi-gigi putih menambah kecantikan seorang Eshter. Inikah bidadari yang pernah mengisi hati Sean? Terlalu bodohkah Sean merelakan Eshter untuk lebih memilih karirnya ketimbang cintanya? Entahlah.

"T-Tentu saja.."

Sean menggeser posisi duduknya, masih dengan sebuah kado di pangkuannya. Kini Eshter telah duduk di sampingnya. Mereka bertemu lagi, dalam keadaan yang berbeda. Mereka bukan lagi sepasang muda-mudi yang baru merasakan cinta. Mereka pernah menyatukan cinta mereka, meski pada akhirnya mereka harus menyerah pada keadaan. Dan sekarang, apakah waktu yang tepat untuk mempertemukan cinta lama yang sudah terpisah nyaris 5 tahun lamanya? Ketika salah satu dari mereka telah menemukan pelabuhan hati barunya?

"Ngomong-ngomong, kau sedang menunggu seseorang?"

Sean mengangguk, kemudian tersenyum pada Eshter. Ya, dia sedang menunggu perempuan bernama Ivy yang ditemuinya beberapa hari yang lalu di tempat ini. Sean tidak bisa menceritakan soal itu di sini. Menurutnya, itu bukanlah hal yang bijaksana.

"Kado itu untuk siapa? Pacarmu?"

"E-Eh?"

Eshter memang cerewet, dan itulah yang menjadi salah satu daya tariknya bagi Sean. Sean tampak salah tingkah dengan memandangi kado di pangkuannya, kemudian kembali menatap Eshter yang menantikan jawabannya. Pacar? Bagaimana mungkin Sean bisa mengatakan bahwa dia sedang menunggu pacar barunya, sementara dia saja baru mengenal orang yang ditunggunya sebentar.

"T-Tidak... Eh Eshter, kenapa kau di sini?"

"Hm?"

"Maksudku, tidak merayakan Natal di Italia?"

"Tidak, Dad mengajakku merayakan Natal di London. Jadi yah, aku ikut. Kebetulan sekali kita bertemu di sini ya, Sean."

Untuk kesekian kalinya Sean tersenyum. Pertemuan seperti inilah yang kadang kala sering terjadi di begitu banyak jenis novel cinta. Tidak beda jauh dengan pertemuan antara Sean dan Ivy sebelumnya. Namun pertemuannya dengan Eshter, seperti sebuah reunian kecil, antara hati mereka berdua. Apa yang bisa mereka bicarakan? Masa lalu? Tentang kisah-kisah lama yang telah mereka ukir di hati masing-masing lawan jenis? Apakah ini kado Natal terbaik untuk Sean?

2 jam lamanya mereka habiskan untuk membicarakan soal kenangan-kenangan indah diantara mereka. Sean memutuskan, dia akan segera kembali ke rumah.

"Perlu ku antar pulang?"

"Boleh, kalau kau tidak keberatan. Biar kau tahu rumahku yang sekarang. Haha.."

Perasaan tak menentu menyelimuti Sean. Antara senang dan sedih, menjadi satu malam itu. Dia tidak bisa mengungkapkannya.

***


25 December 1996 / 9 P.M waktu London

Gadis mungil itu melangkah kedinginan, menembus salju yang terus turun. Dia tidak mempedulikan tubuhnya yang lemas tak berdaya setelah 3 hari terbaring di Rumah Sakit. Dia merasa tidak kuat untuk terus menghabiskan waktu dengan mengkonsumsi obat-obat dari Dokter yang merawatnya. Dia membutuhkan obat lain, yang bisa menenangkan hatinya. Dia ingin bertemu sosok laki-laki yang membuatnya tersenyum malam itu. Tak terasa sakit sedang menyerangnya ketika bersama laki-laki itu. Begitu nyaman, dan hangat di dekatnya.

Ivy duduk di bangku panjang yang tadinya telah dihuni sepasang muda-mudi seumurannya. Gadis mungil itu memasukkan kedua tangannya ke dalam jaket tebal yang dia kenakan, melirikkan matanya ke kanan dan ke kiri. Ivy ingin bertemu Sean, Ivy ingin berbincang-bincang lagi dengan Sean. Dia tidak ingin pisah dari Sean, biarpun dia baru mengenalnya beberapa saat. 

Tak peduli seberapa parah sakit yang dideritanya saat ini, tak peduli seberapa dinginnya cuaca malam ini, Ivy tetap duduk menanti. Dia tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Apa benar perkataan Ibunya? Apakah dia sedang jatuh cinta? Jatuh cinta, hal yang tak pernah dia tahu, sejak dulu. Penyakit parah itu telah membuatnya harus banyak terbaring di atas tempat tidur, dan tak pernah menemukan arti cinta yang sebenarnya.

"Nak, malam sudah larut. Pulanglah."

"Ah, tidak apa Pak. Hehe.."

"Apa yang sedang kau tunggu? Pacarmu?"

"Tidak, hanya seorang teman saja kok."

"Oh, haha.. Baiklah, selalu waspada, Nak."

Bahkan seorang Polisi penjaga taman pun tak akan mampu menggerakkan niat Ivy untuk terus menunggu Sean. Di sini mereka pertama bertemu, dan mungkin saja mereka bisa bertemu di sini kan? Apa mungkin Sean sudah melupakan pertemuannya dengan Ivy? Tidak apa, Ivy akan menunggu Sean, entah itu berapa hari, berapa bulan, atau berapa tahun. Atau sampai seberapa lama dia bisa bertahan dari penyakitnya? Entahlah, Tuhan yang tahu.

....


To be continued....

H.R.Y

Rabu, 02 Januari 2013

L.O.V.E | Part 4: Sean Wishes



25 December 1996 / 6 A.M waktu London

Pagi Natal, dan Sean masih berada di atas tempat tidurnya yang nyaman. Hingga akhirnya sang Ibu membuka jendela kamarnya, membiarkan cahaya matahari masuk ke dalam kamarnya, menyilaukan mata sang penulis muda. Hal ini jelas harus memaksa Sean beranjak, dan segera membuka kado yang sudah ada di ruang tamu.

Ya...

"Thanks, Mom!"

Sean baru saja membuka kadonya. Berukuran sedang, tidak terlalu besar juga. Tepat, hadiah yang diberikan Ibunya adalah sebuah hiasan seperti bola kristal kecil, yang di dalamnya terdapat sebuah kursi panjang, dan sebuah pohon yang nyaris tertutupi salju yang turun. Dipandanginya terus hadiah dari Ibunya tersebut. Dan tentu saja dia ingat, sebuah kado yang dia persiapkan untuk Ivy, yang mungkin saja bisa dia temui di Hyde Park, malam ini. Semoga saja malam ini, dia akan bertemu gadis itu. Semoga!

***


Sebuah kotak kado kecil dibawa oleh Sean yang menyusuri jalanan kota London, menuju Hyde Park yang kini semakin ramai. Salju terus saja turun, nyaris menutupi seluruh bagian rambut Sean Sylvester. Pandangan matanya sesekali menyisir seluruh bagian taman yang ramai. Tujuannya tentu saja bangku panjang yang sudah menjadi tempat penuh kenangan untuknya. Di malam Natal ini, harapan Sean hanya ingin bertemu dengan Ivy dan berbincang lebih lama lagi dari yang kemarin.

"Fuh.."

Sean sudah duduk di kursi panjang itu, dan menyandarkan tubuhnya di bagian belakang bangku. Kedua tangannya masih memegangi kado yang dia bawa dari rumah. Apa yang dia lakukan ini sia-sia? Atau semua akan terjawab dengan kedatangan Ivy malam ini? Dia rela melakukan semua ini, karena dia merasa bahwa Ivy adalah suatu anugerah untuknya, yang mampu membuatnya hidupnya jadi lebih berwarna. Detak jantungnya semakin cepat seiring berjalannya waktu. Ataukah ini tanda-tanda kedatangan seorang Ivy? Entahlah, dia hanya bisa berharap.

"Sean....?"

Nah, siapa?




To be Continued...

H.R.Y

L.O.V.E | Part 3: Lonely

He's lonely

23 December 1996 / 9 P.M waktu London

Malam semakin dingin, dan salju masih terus turun tanpa henti. Sudah dua jam berlalu sejak kedatangan Sean pada jam 7 tadi, demi menemui sesuatu yang dia inginkan malam ini. Sean rela meletakkan penanya untuk sesaat, berhenti menulis, hanya untuk hal ini. Dia berharap malam ini dia bisa bertemu lagi dengan Ivy, di tempat yang sama. Sean juga duduk di bangku panjang tempatnya dan Ivy duduk ketika itu. Hanya saja, untuk malam ini dia duduk sendirian. Menikmati salju yang turun, kesepian.

Sean melirik jam tangan miliknya sekali. Pemuda ini beranjak dari tempatnya, berdiri diam. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, ingin lebih memastikan apakah gadis yang ingin ditemuinya itu akan datang atau tidak. Dan akhirnya, Sean memutuskan untuk pulang ke rumah. tentu saja dengan perasaan kecewa, kecewa berat.

He's failed, tonight.

***

24 December 1996 / 11 A.M waktu London

Tidak ada yang Sean lakukan, sejak pagi sampai menjelang siang ini. Dia hanya diam, merenungkan apa yang akan terjadi padanya. Hari ini, satu hari menjelang Natal. Pikirannya masih terus melayang memikirkan Ivy, terus. Sean berbaring di atas rerumputan di halaman belakang rumahnya, memandangi langit yang terus menerus balik memandanginya tanpa pernah bosan. Seandainya saja Sean bisa berbagi cerita dengan sang langit..


Bahkan hingga acara makan bersama keluarga besarnya di malam harinya pun dilewatkan Sean begitu saja. Dia memilih untuk menutup pintu kamarnya, membanting tubuhnya di atas kasurnya yang empuk, dan menatap langit-langit kamarnya. Berharap pada hari Natal besok, Ivy akan datang ke rumahnya, walau hanya sekedar mengucapkan selamat Natal saja. Yah, kesalahan Sean juga yang tak sempat memberikan alamat rumahnya. Terlalu berharap itu, kadang dilarang kan?

Berharap juga bisa membuat hati sakit...



To be Continued....

H.R.Y

L.O.V.E | Part 2: Remember Her

22 December 1996 / 8 A.M waktu London

Pena itu terus bergerak, mengikuti alunan tangan sang pemakai. Perlahan tapi pasti kertas yang tadinya putih bersih, kini sudah mulai ternoda dengan beberapa buah kata yang membentuk sebuah kalimat panjang. Penggerak pena tersebut tak lain adalah Sean. Sejak pertemuan semalam, bangun dari tidur dia langsung beranjak dari tempat tidurnya, mandi, dan langsung duduk nyaman di kursi menulisnya. Tiba-tiba saja seperti ada sebuah suntikan semangat di dalam dirinya saat ini. Ivy, nama gadis itu. Sean seolah-olah tersihir dengan senyum serta kecantikan gadis mungil yang pernah duduk di sampingnya. Ingin rasanya dia memutar waktu itu, sekali lagi.

Cukup lama pemuda ini duduk dalam diam, akhirnya dia memutuskan untuk melanjutkan nafas ke halaman depan rumahnya.


Sejuk, udara di tempat tinggalnya memang sangat luar biasa dan membuatnya nyaman untuk terus menulis. Halaman depan yang luas, dengan pembatas pagar kayu kokoh setinggi dada orang dewasa. Di bagian belakang rumah terdapat kolam yang di tengahnya terdapat sebuah jembatan. Isinya tentu saja beberapa jenis ikan, dan jangan pernah mengharapkan keluarga Sean akan memelihara seekor buaya atau seekor Hiu di dalamnya. Ah ya, di bagian samping rumahnya terdapat sebuah bangunan pribadi seperti sebuah Kastil kecil. Itu biasa digunakan untuk bermain atau berkumpul.

Sean duduk di atas pagar kayu rumahnya, membiarkan rambutnya tertiup angin sepoi. Tatapan matanya terus memandangi rerumputan hijau yang terbentang di depannya. Awan biru cerah menjadi penghias lainnya pagi itu. Pikirannya masih terpaku pada Ivy. Gadis yang membuatnya kembali bisa merasakan saat-saat dimana detak jantungnya berdetak cepat. Ya, ini bukan yang pertama untuk Sean. Dan kembali pikirannya melayang ke tempat lain. Ke orang lain, kali ini.

Eshter

Eshter, itu namanya. Gadis bersurai merah itu menjadi cinta pertama Sean sewaktu mereka berusia enam belas tahun. Mereka sempat menjalin suatu hubungan serius, yang mana akhirnya harus berakhir karena perbedaan prinsip mereka sendiri. Ya, mereka pisah sekolah setelah lulus. Eshter memutuskan untuk ikut ayahnya ke Italia, dan bertekad menggapai cita-citanya menjadi seorang Desainer.

"Hm, Eshter. Apa kabarmu....?"

Seperti itulah Sean. Dia hanya bisa bertanya secara jelas ketika dia jauh dari orang yang disukainya. Sedikit mengingat masa lalu bukanlah jadi suatu masalah dalam kehidupan. Setidaknya Sean masih bisa menjadikan Eshter salah satu kenangan indahnya  di masa lalu. Dan kini, sudah saatnya dia membuka lembaran baru, seiring dengan berjalannya waktu dan semakin bertambah usianya. Dia sudah memutuskan, semalam. Tanpa pikir panjang, bahwa dia bisa melakukanya. Ivy telah mengubah segalanya hanya dalam satu malam. Hanya dengan obrolan singkat mereka.

Inikah yang namanya merindu lagi?



To be continued....

H.R.Y