Pages

Kamis, 10 Februari 2011

My First Love Left Me

" Terus, siapa laki-laki kemarin, itu kalau bukan pacar gelapmu?! "



" Dia cuma temen aku! Bukan siapa-siapa aku, ngerti?! "



" Ah! Percuma ngomong sama kamu. Mulai sekarang, kita PUTUS! "




Entah setan apa yang merasuki Arman saat itu. Dia masih terus mengingat, dua tahun yang lalu, saat dia baru kelas satu SMA, tepatnya di depan kelasnya. Dia, dan Naya, yang saat itu pacarnya, sedang dalam adu mulut gara-gara perkara yang cukup sepele. Sehari sebelumnya, Arman melihat Naya sedang berjalan dengan seorang pria seumuran mereka di sebuah mall. Karena sifat Arman yang sangat pencemburu, maka dia tak bisa menahannya lagi. Dia bukan tipe laki-laki yang mau disakiti perasaannya oleh orang. Maka, begitulah keputusan yang diambil Arman, tanpa memikirkan apa-apa lagi.



Sekarang, Dina sudah jauh di Jogja, sementara Arman, yang pindah ke Jakarta, masih bersekolah di salah satu SMA. Dia masih kelas 3 SMA, dan ini merupakan tahun terakhirnya di sekolah. Arman seorang laki-laki yang cukup tinggi, dengan tubuh tegap, berkulit putih, dan cukup banyak disukai anak-anak perempuan di sekolahnya. Namun, entah kenapa, dia masih saja tak bisa melupakan Naya, teman masa kecilnya, yang juga jadi cinta pertamanya. Setiap hari, selalu memikirkan Naya, biarpun dia tahu, Naya bukan siapa-siapa lagi, kini. Selama dua tahun, tak ada kabar dari Sang Mantan, membuat Arman sedikit gelisah. Dia sendiri masih cukup menyesal dengan apa yang telah dia lakukan. Kenapa dia begitu bodoh....



Suatu hari, ketika sekolah mengadakan ujian Semester Ganjil, Arman tak bisa berkonsentrasi untuk berhasil menemukan jawaban. Pikirannya terus tertuju pada suatu tempat, di mana saat dia dan Naya masih bersama, selalu menghabiskan waktu berdua. Sebuah taman, dengan ayunan, dan tempat duduk, dikelilingi bunga-bunga... Itulah yang selalu menghantui pikiran Arman, sampai hari terakhir ujian.



Beberapa hari kemudian....



Tak buruk, beberapa nilai 7 menghiasi buku rapor Arman. Yang penting, dia tidak harus mengerjakan remedial nantinya. Nah, liburan sudah dimulai sekarang. Arman ingin sekali melepaskan rasa rindunya ke tempat yang selalu membayanginya itu. Dia ingin pergi ke Jogja, tempat di mana dulu dia menghabiskan masa kecilnya, bersama keluarga dan teman-temannya.



Selesai mengemasi barang-barangnya, Arman pamit kepada kedua orang tuanya, dan segera pergi dengan mengendarai Jazz biru miliknya, sendirian. Paman dan bibinya sudah menunggu di Jogja. Namun, Arman hanya terus memikirkan bagaimana nanti, saat dia akan bertemu dengan Naya, yang sudah lama tidak dia sapa. Arman rindu dengan senyum gadis itu, suara lembutnya, semuanya. Dengan modal semangat itu, Arman berangkat, terus melaju dengan mobilnya menuju Jogja, yang jaraknya akan sangat jauh sekali kali ini.



Em.... Beberapa hari kemudian...( lagi )



Arman sudah sampai di jalanan kota Jogja. Dia kini sedang menuju rumah pamannya yang tak jauh dari pusat perbelanjaan Malioboro. Berbelok ke arah kanan, dan kemudian memasuki lorong sebuah perumahan yang cukup ramai. Arman memakirkan mobilnya di depan rumah bercat kuning, dan berpagar besi, milik pamannya. Dia membuka pagar, dan mengetuk pintu rumah.



" Eh, Arman... Sudah datang, to! Ayo masuk dulu... "



" Iya, paman.. "



Kemudian Arman mulai memasuki kamar yang sudah disediakan pamannya, khusus untuk Arman. Dia lalu membanting dirinya ke kasur yang empuk itu, dan mulai memejamkan matanya yang tentu amat sangat lelah sekali.



Keesokan harinya, Arman pamit kepada Paman dan bibinya karena mau pergi ke suatu tempat. Tanpa basa basi, dia kemudian kembali ke jalanan kota Jogja yang cukup ramai. Tujuannya saat ini, adalah rumah Naya, tentu untuk menemui gadis teman masa kecilnya itu. Tak lama, dia sudah sampai di sebuah rumah, yang kalau dilihat, sudah tak terurus lagi. Ada tulisan dijual di pintu pagarnya. Putus asa sedikit memenuhi benak Arman. Apa yang akan dia lakukan sekarang, kalau begini. Di tengah rasa bingungnya, muncul kembali gambaran taman tempat di mana dia selalu menghabiskan waktu bersama Naya. Ya, mungkin saja gadis itu ada di sana.



Arman menghentikan mobilnya di depan sebuah area taman yang begitu indah, ditanami bunga-bunga yang mekar dengan indahnya. Tak ada bedanya, dulu dan sekarang. Sebuah ayunan masih berdiri di dekat sebuah pohon, dan sebuah tempat duduk.... Seorang gadis sedang duduk di kursi panjang itu. Rambut panjang, sedikit pirang, dan rasanya Arman kenal. Dia menghampiri gadis itu, dan....



" Naya.... "



Gadis itu menoleh, dan memandang Arman, lalu tersenyum tipis. Wajahnya sedikit pucat, begitu juga bibirnya. Apa dia sakit? Arman lalu duduk di samping gadis itu, dan kemudian kembali menatap gadis di sebelahnya.



" Kau.... Naya? "



Gadis itu hanya mengangguk pelan, seraya tersenyum merekah. Menunjukkan kesenangan yang amat sangat. Arman pun tersenyum merekah, menyambut sapaan hangat gadis itu. Akhirnya, Arman bisa bertemu lagi dengan gadis yang selama ini tak bisa dia lupakan dalam hidupnya.



" Apa kabarmu? Rumahmu sudah pindah, ya? Kenapa tak bilang-bilang.... "



Kata-kata Arman terputus, karena Naya yang menghentikan senyumnya, dan kini berganti menjadi hampa, tak ada rasa. Apa Arman salah bicara?



" Em.... Boleh aku minta alamat barumu? "



Dengan segera Naya mengambil sebuah kertas, yang sepertinya sudah sangat lama, dan sudah berdebu. Arman mengambil tanpa memperdulikan keadaan surat itu sebenarnya. Dia lalu memasukkan surat itu ke dalam saku celanya, dan kembali menoleh ke arah Naya....



Hei, ke mana gadis itu? Kenapa tiba-tiba hilang tanpa jejak? Arman bingung, dia segera mencari Naya, ke semua arah taman, tanpa ada yang terlewati. Apa yang dilakukan Naya? Apa dia masih marah dengan Arman? Lalu, apa arti senyum hampa itu tadi? Ah, lebih baik Arman pulang ke rumah dulu, sebelum dia bertemu Naya lagi, kali ini dengan mendatangi rumahnya langsung.



Sesampai di rumah paman dan bibinya, Arman segera masuk ke kamar dan membuka surat yang diberikan Naya kepadanya tadi :



Untuk, Arman



Man, mungkin, saat kamu membaca surat ini, aku sudah gak ada lagi di manapun. Aku mungkin sudah berada di tempat di mana kita akan bertemu lagi, dengan keadaan yang berbeda. Sebuah tempat yang dikelilingi bunga-bunga indah, dan di situ, aku akan menunggumu memberikan bunga kepadaku, dan kita akan selalu tersenyum bersama, membicarakan masa lalu kita, masa-masa di mana kita dimarahi kedua orang tua kita.



Masih ingatkah saat kau datang ke rumahku dan mengajakku menginap di rumahmu? Aku selalu ingat kejadian itu, sangat lucu menurutku. Mengajakku pergi dari rumah, dan akhirnya justru kau yang dimarahi orang tuamu. Aku akan selalu ingat itu, sampai kapanpun.



Sepertinya, hanya segini yang bisa aku tulis, paling tidak. Sisa tenagaku sudah tak ada lagi. Aku selalu menunggumu, tapi, tetaplah kau jalani hidupmu. Tak usah hiraukan aku di sini, teruslah melangkah ke depan. Karena, biarpun aku tak ada di sampingmu, aku akan ada di hatimu..



N.B : JL. SUBROTO NO.3



Entah sejak kapan, air mata Arman sudah mengalir begitu derasnya. Dia tak percaya dengan semua yang telah dia baca tadi. Semua bohong! Mana mungkin, Naya, yang baru saja ditemuinya, akan mati... Tunggu, bagaimana kalau Arman ke rumah Naya, sekarang juga.



Tak lama, sampailah Arman di sebuah rumah, cukup sederhana, dengan dinding bercat hijau cerah, dengan halaman ditumbuhi bunga-bunga yang cukup indah. Arman mengetuk pintu rumah itu, dan.....



" Halo, Om. Bener ini rumah Naya? "



" Ya, bener. Arman, ya? "



" Iya, Om masih inget saya? "



" Waiya, To! Ada apa? "



" Nayanya ada, Om? "



Diam sejenak, entah karena apa. Angin bertiup kencang, menyapu halaman membuat rambut Arman berantakan. Perasaannya, sedang tak enak. Kenapa, ya?



" Begini, Naya sudah meninggal, Man.... "



" Hah? Kapan, Om? "



" Dua bulan yang lalu, karena kanker otak.... "



Desh! Otak Arman serasa berhenti, darahnya seperti tak mengalir, jantungnya serasa berhenti berdetak. Lalu? Siapa yang dia temui tadi? Apa itu arwahnya Naya? Dua bulan? Dua bulan? Apa tak salah? Berarti....



Skip....



Perjalanan Arman pulang ke Jakarta seperti tak berarti apa-apa lagi, tak ada gunanya lagi. Arman memandangi sebuah foto kenang-kenangan yang diberikan ayah Naya kepadanya, saat Arman ke rumah Naya, beberapa hari yang lalu. Gadis berambut pirang itu, kini sudah pergi, ke tempat yang tak bisa digapai oleh Arman, ke tempat yang sangat indah, di mana semua orang sangat memimpikannya selama ini... Di Surga...

0 komentar:

Posting Komentar